II Anak Nakal(Penyandang Autisme), Sebuah Petaka.
Lahir di Surabaya pada medio Juni 1884, dan oleh karena ketidaktahuan kedua orang tuannya serta kerabatnya bahwa ia menyandang penyakit Autisme, maka Tan Tik Sioe kecil dianggap dan dicap sebagai bocah nakal, bandel, rewel, penyendiri serta sulit diatur. Usia 9 tahun “kenakalannya” semakin menjadi-jadi dan sulit dikendalikan karena kesedihan yang timbul akibat kedua orangtuannya yang meninggal dunia, sehingga kerabatnya mengusirnya dari rumah. Ia minggat dari rumah dan hidup menggelandang kesana kemari tanpa tujuan serta memakan apa saja yang ditemuinya hanya sekedar untuk bertahan hidup…..
.
Lahir di Surabaya pada medio Juni 1884, dan oleh karena ketidaktahuan kedua orang tuannya serta kerabatnya bahwa ia menyandang penyakit Autisme, maka Tan Tik Sioe kecil dianggap dan dicap sebagai bocah nakal, bandel, rewel, penyendiri serta sulit diatur. Usia 9 tahun “kenakalannya” semakin menjadi-jadi dan sulit dikendalikan karena kesedihan yang timbul akibat kedua orangtuannya yang meninggal dunia, sehingga kerabatnya mengusirnya dari rumah. Ia minggat dari rumah dan hidup menggelandang kesana kemari tanpa tujuan serta memakan apa saja yang ditemuinya hanya sekedar untuk bertahan hidup…..
.
Suatu hari ia dengan tubuh kurusnya keleleran dan terlantar, ditemukan tergeletak kucel tak berdaya di pinggiran Rawa Remang-Sumberagung(berjarak sekitar 300 km dari Surabaya) oleh bocah-bocah yang sedang angon kerbau.
Berita ini cepat tersebar dan sampailah pada telinga pak Budiman(nama samaran), yaitu seorang sastrawan sekaligus penginjil, yang adalah warga Belanda sekaligus pengelola gereja dan perkebunan kelapa milik penjajah tersebut yang berkedudukan di Onderneming Soemberagoeng Afdeeling Toeloengagoeng, kampung halaman saya. Pak Boediman kemudian mengambil dan membesarkannya serta menjadikannya anak angkat serta membaptisnya. Semenjak ikut pak Budiman ia hidup terjamin dan diajari disiplin tinggi serta dipaksa belajar sastra yang akhirnya membuatnya menjadi mahir berbagai macam bahasa dan mengenal berbagai macam budaya. Dan dari kepustakaan ayah angkatnyalah ia belajar budaya Tao secara otodidak.
III Berguru Pada Eyang Buyut.
"Shifu" Eyang Boeyoet
.
Tidak puas hanya belajar sastra, ia minta ijin ayah angkatnya untuk belajar ilmu kejawen, dan pak Budiman merekomendasikan agar belajar pada sahabatnya dalam mengelola Gereja setempat yaitu Eyang Buyut, yang kemudian mengajarinya “ilmu sangkan paraning dumadi” . Dan ternyata ia malah mampu menguasai ilmu sabda dalam waktu yang singkat. Ilmu ini menuntut pengamalnya untuk hidup “laku suci lan lungguh bener” serta selibat/lajang seumur hidup dan menjauhi perempuan/berhubungan sex. Ilmu ini tidak menuntut puasa/semedi/bertapa sama sekali. Ilmu ini membuat pemiliknya dapat mewujudkan apapun keinginannya. Dan karena ilmu inilah ia menjadi tokoh yang sangat sakti, karena ia dapat mewujudkan apa saja keinginannya, sehingga dikemudian hari ia dianggap sebagai manusia setengah dewa atau bahkan dewa itu sendiri(sian) oleh para penikutnya pada masa itu, juga di masa sekarang ini. Dan pada masa inilah Tan Tik Sioe dijemput oleh kerabatnya dari Surabaya yang dulu pernah mengusirnya. Namun ia menolak mentah-mentah setelah diancam oleh ayah angkatnya………
Berlanjut "Cerita Tan Tiek Siu (III)
Sumber : tantieksioesian.blogspot.com
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar