Senin, 30 Mei 2011

Cerita Tan Tiek Siu (IV)

V. Pak Sidik Sang Pewaris Tunggal Tan Tik Sioe

Tan Tik Sioe sangat membenci bersemedi/bertapa, ia sangat keras menolak melakukan ritual seperti itu, dan bahkan dalam tulisan-tulisan karyanya ia selalu berpesan untuk menghindari ritual ini. Yang terpenting adalah "lakoe soetji lan loenggoeh bener" di dalam kehidupan sehari-hari, karena menurutnya, bersemedi/bertapa samasekali tidak menghasilkan apapun. Dan kalaupun dalam keadaan terpaksa harus bersemedi/bertapa, maka hanya boleh melakukannya dalam 5(lima) menit saja dalam setahun.
.
[...selama ini, menurut pengetahuan umum, entah berdasarkan literatur yang didapat dari mana, menyatakan bahwa tokoh ini adalah seorang pertapa dari G.Willis dan Goa Sumberagung. ............Ia memang pernah ada disana, tapi bukan untuk bertapa ditempat itu...,namun untuk merenungi nasibnya yang selalu terasing dan terbuang serta berolah sastra...]
.
Karena begitu produktifnya sastrawan otodidak ini, sehingga ia menghasilkan puluhan karya sastra baik yang sudah dicetak dan diterbitkan secara terbatas, serta puluhan lainnya lagi yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang mungkin memang sengaja tidak dicetak dan diterbitkan karena isinya sangat sensitif. Diantara tulisan tangannya, kebanyakan dalam huruf dan bahasa jawa kuno hingga hanya orang tertentu saja yang dapat membacanya.
.
Pada medio 1900 - 1910-an, para insinyur dan geologist penjajah Belanda menduga bahwa diwilayah Sumberagung terdapat kemungkinan kandungan materi tambang yang luar biasa besar jumlahnya, dan melalui pak Budiman sang ayah angkat, penjajah berusaha memtprovokasi dan memanfaatkan kesaktian tokoh ini untuk memastikan lokasi titik tambang dimaksud, dan benar saja, para insinyur dan geologist Belanda dibuat tercengang karena tokoh ini dengan sangat mudah menentukan titik-titik dimana harus ditambang. Dititik-titik itulah konon diambil sampel dan membuat para insinyur Belanda tercengang. Ada tiga titik sebagai penanda keberadaannya yang kemudian disebut "triangulasi". pada ketiga titik tersebut dibuat patok semen dan ditempeli lempengan logam/stainlessteel yang masih mengkilap hingga kini. lempengan tersebut berisi titik garis bujur dan garis lintang lengkap dengan kode unsur kimia kandungan cadangan tambang dimaksud. Namun tokoh ini nampaknya mulai tahu bahwa dirinya telah dimanfaatkan penjajah dan sepertinya hal ini membuatnya "limbung" dan tidak siap menghadapi kenyataan yang terjadi. Padahal ia telah juga terprovokasi ayah angkatnya untuk mengeringkan Rawa Remang secara sadis!!!. Ia nampak terpukul dan begitu sangat menyesal. Semua keadaan ini membuatnya sedih dan kecewa, dan melalui permenungan yang cukup lama akhirnya ia memang "mutung", memutuskan untuk kabur dan menggelandang/mengelana saja meninggalkan lingkungannya [Sumberagung] yang begitu menyiksa perasaan dan mendera batinnya ini....................
.
Kemudian ia mengumpulkan seluruh master karya sastranya dan menyerahkannya kepada satu-satunya "cantrik" yang selalu menemaninya bernama pak Sidik yang buta huruf. Pada saat itu ia baru berusia 30-an tahun. Ia berpesan pada pak Sidik agar merawat "warisan" tersebut, kemudian ia berpamitan mengelana ke Penang dengan membawa segudang kekecewaan dan kesedihan yang mendera di dalam hatinya yang begitu menyiksa......
.
Namun, sebelum ia mengelana ke Penang ia sempat menyelesaikan sebuah buku yang begitu fenomenal, isinya penuh caci-maki terhadap kelompok tertentu yang tidak disukainya, yaitu "Kitab Soetji Olee-Olee Hingsoen", terbit di Blitar 1920 olehPertjetakan Liem Liang Djwan, dan beredar secara terbatasSekali lagi, buku ini sangat sensitif untuk sebagian orang/ kelompok tertentu. Buku ini juga memuat beberapa nubuat/ramalan yang cukup sensitif.
.
Konon tokoh ini dikabarkan menetap di Penang (ia terhubung dengan situs "One hundred bat cave"), hingga akhir hayatnya dan diperabukan disana pada medio 1960-an......
.
Dan seiring berjalannya waktu, akhirnya pak Sidik menyerahkan sekotak warisan karya sastra adiluhung tersebut kepada Mbah Iskak [salah satu putra Eyang Buyut], hal ini terjadi karena pak Sidik dan anak-anaknya tidak ada yang bisa baca tulis dan tidak mampu merawat dengan baik, selain itu juga karena alasan ekonomi yang mendera keluarganya kala itu.....


Berlanjut "Cerita Tan Tiek Siu (V)
Sumber : tantieksioesian.blogspot.com

Tidak ada komentar: