Senin, 30 Mei 2011

Cerita Tan Tiek Siu (VI)

VIII . Penutup
Penjajah Belanda, melalui pak Boediman, telah membuat "rencana besar" bagi Sumberagung. Itulah sebabnya, walaupun berada di wilayah yg sangat terpencil dan terisolasi, melalui misi Zending, telah dibangun Rumah Sakit, Sekolah hingga tingkat SMA, dan Gereja sangat besar dan lengkap. Misi Zending juga telah berhasil membuat hampir 100% populasi bertobat dan dibaptis. Patok titik penambangan juga telah di tanam. Rawa sudah dikeringkan. Hukum juga sudah diberlakukan dengan sangat ketat. Namun semua rencana sangat besar itu telah gagal. Tan tik telah mutung dan kabur, bersamaan dengan itu, kebijakan pemerintah pusat penjajah juga berubah. Belum sempat melakukan aktivitas tambang, tentara Jepang masuk dan membumihanguskan apa saja yang ditemuinya, termasuk sekolah, rumah sakit, gereja dan bahkan rumah tinggal pak Boediman. Penduduk setempat beribadah dengan sembunyi-sembunyi. Belum sempat pulih secara psikologis, timbul kekacauan Gestok, maka habislah sudah misi Zending di Sumberagung.....
Namun kalau saja "rejim orde baru" tidak jatuh, maka wilayah Sumberagung telah menganga hancur total tak berpenghuni layaknya wilayah bekas tambang Freeport di Papua. Namun Tuhan berbicara lain.............walaupun pemetaan ulang sudah dilakukan, blue print lengkap ditangan, namun semua itu gagal dilakukan...........
Dengan terekposnya tulisan saya ini, ditambah korupnya pejabat di negeri ini, plus situasi yang serba tidak pasti, akan terbuka kemungkinan penghancuran total kampung halaman saya oleh aktivitas tambang. Namun saya tidak kawatir, karena blue print pemetaan tambang saat ini ada pada orang yang sangat jujur dan berdedikasi sangat tinggi, sehingga tidak akan jatuh ketangan investor jahat. Setidaknya penghancuran total kampung halaman saya akan tertunda lagi........
Semoga semua makluk berbahagia, Tuhan memberkati kita semua......
....to be continue. 

Cerita Tan Tiek Siu (V)

VI Tan Tik Sioe Anak Raja Soerakarta Dari Selir Ke 13 Dari China.

Syahdan, pada masa pasca agresi militer Belanda ke 2, datang ke Sumberagung(kampung saya) serombongan orang yang mencurigakan, yang mengaku-ngaku sebagai utusan Raja Surakarta lengkap dengan bukti-bukti tertulis, bahkan ada surat khusus yang menyatakan bahwa Tan Tik Sioe adalah anak raja Surakarta dari selir yang ke 13 yang berasal dari China yang terpaksa harus dititipkan kepada pengelola perkebunan penjajah tersebut karena situasi di keraton yang sedang tidak nyaman. Dan mereka mengaku diutus rajanya untuk mengivestigasi warisan anaknya untuk diambil pulang ke Surakarta. Namun, upaya tipu-tipu ini dengan mudah diungkap karena mereka ternyata hanya tertarik pada "master karya sastra Tan Tik Sioe" saja dan ketiga titik "triangulasi", bukan yang lain. Akhirnya para "utusan" sang raja tersebut pulang dengan dukacita karena tidak mendapat apa-apa dan semua rencananya gagal total !! [disinyalir mereka adalah kerabat tokoh ini yang tinggal di Surabaya dan sekitar Surakarta yang sudah kehilangan akalnya karena sudah tidak mungkin lagi bertemu tokoh ini, atau bisa jadi, mereka adalah utusan perusahaan tambang milik Belanda untuk mencari blue print pemetaan area tambang]
.
Beberapa buku karya Tan Tik Sioe yang disimpan Mbah Iskak yang tidak terlalu penting konon "diambil paksa" oleh salah satu pembantunya berinisial PR, ia adalah salah seorang guru SDN II Sumberagung yang memang terkenal "rakus" di kampung saya. Ia berhasil mengambil buku-buku tersebut ketika kesehatan Mbah Iskak sedang berada pada situasi "genting" saat menjelang ajalnya, tatkala semua orang sedang "panik". Tapi karena ia gagal mempelajari buku-buku tersebut lantas ia menjualnya kepada seorang kolektor buku kuno dari luar kota. Tidak lama kemudian PR menemui ajal secara tragis !!
.
VII Situs Danau/Rawa Remang Dan Goa Pasetraan Gondo Mayeet
.
Konon, Tan Tik Sioe memang begitu sakti, dan semua ini diakui oleh anak-anak Eyang sendiri. Bahkan kesaktianya dianggap tuntas karena ia memang mampu hidup selibat/lajang dan dapat menjauhi bersetubuh dengan perempuan sebagai tuntutan pengamal ilmu sabda yang memang tidak dapat dipenuhi oleh anak-anak Eyang sendiri.
.
Bahkan konon, ia menutup sumber mata air yang sangat besar yang menjadi cikal bakal nama kampung saya yaitu, "Sumber Agung" [ Sumber = mata air, Agung = besar ] yang sekaligus sebagai satu-satunya pemasok air bagi Danau/Rawa Remang yang ketika itu memiliki luas 50 ribu hektar lebih yang merendam beberapa desa. Yang mencengangkan adalah bahwa tokoh ini menyumbat sumber air yang sangat besar tersebut hanya dengan sepotong puntung rokok (uthes=jawa) yang rokoknya ia cipta dari sebuah ranting kering. Ia terprovokasi ayah angkatnya untuk melakukannya.
.
Rawa Remang kini sudah kering kerontang dan menjadi sawah tadah hujan terutama diwilayah Sumberagung. Yang aneh dari bekas rawa ini adalah, walaupun pada saat musim kemarau panjang dan seluruh tanaman/rumput mati dan tanah pecah-pecah, namun ketika memasuki musim hujan tatkala turun hujan untuk pertama kalinya, maka penduduk setempat pada turun ke sawah membawa perlengkapan penangkap ikan. Yang lebih aneh ikan-ikan tersebut berukuran besar, sebesar lengan dan betis orang dewasa. Ikan-ikan tersebut adalah lele, betutu, bethik(mirip mujair), sili (kepala dan ekor sulit dikenali) dan belut.
.
Rumah sederhana semi permanen yang kini dihuni oleh orang yang mengaku sebagai juru kunci Goa Tan Tik Sioe, berdiri tepat diatas tanah bekas rumah(loji) milik pak Boediman, ayah angkat Tan Tik Sioe yang dulu berdiri sangat megah berarsitektur eropa dari bahan kayu jati tua. Namun ketika tentara cebol tengik Jepang masuk, semua dimusnahkan dan dibumihanguskan oleh "TENTARA CEBOL TENGIK" tersebut bersama-sama dengan Gereja, Rumah Sakit dan Sekolah milik Gereja setempat yang dikelola oleh pak Budiman bersama Eyang Buyut.
Semua nama, tempat, situs dan apa saja yg saya sebut dalam cerita ini adalah "ada" dan masih eksis hingga kini, dan dapat dibuktikan secara kasat mata........



Berlanjut "Cerita Tan Tiek Siu  (VI)
Sumber :tantieksioesian.blogspot.com

Cerita Tan Tiek Siu (IV)

V. Pak Sidik Sang Pewaris Tunggal Tan Tik Sioe

Tan Tik Sioe sangat membenci bersemedi/bertapa, ia sangat keras menolak melakukan ritual seperti itu, dan bahkan dalam tulisan-tulisan karyanya ia selalu berpesan untuk menghindari ritual ini. Yang terpenting adalah "lakoe soetji lan loenggoeh bener" di dalam kehidupan sehari-hari, karena menurutnya, bersemedi/bertapa samasekali tidak menghasilkan apapun. Dan kalaupun dalam keadaan terpaksa harus bersemedi/bertapa, maka hanya boleh melakukannya dalam 5(lima) menit saja dalam setahun.
.
[...selama ini, menurut pengetahuan umum, entah berdasarkan literatur yang didapat dari mana, menyatakan bahwa tokoh ini adalah seorang pertapa dari G.Willis dan Goa Sumberagung. ............Ia memang pernah ada disana, tapi bukan untuk bertapa ditempat itu...,namun untuk merenungi nasibnya yang selalu terasing dan terbuang serta berolah sastra...]
.
Karena begitu produktifnya sastrawan otodidak ini, sehingga ia menghasilkan puluhan karya sastra baik yang sudah dicetak dan diterbitkan secara terbatas, serta puluhan lainnya lagi yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang mungkin memang sengaja tidak dicetak dan diterbitkan karena isinya sangat sensitif. Diantara tulisan tangannya, kebanyakan dalam huruf dan bahasa jawa kuno hingga hanya orang tertentu saja yang dapat membacanya.
.
Pada medio 1900 - 1910-an, para insinyur dan geologist penjajah Belanda menduga bahwa diwilayah Sumberagung terdapat kemungkinan kandungan materi tambang yang luar biasa besar jumlahnya, dan melalui pak Budiman sang ayah angkat, penjajah berusaha memtprovokasi dan memanfaatkan kesaktian tokoh ini untuk memastikan lokasi titik tambang dimaksud, dan benar saja, para insinyur dan geologist Belanda dibuat tercengang karena tokoh ini dengan sangat mudah menentukan titik-titik dimana harus ditambang. Dititik-titik itulah konon diambil sampel dan membuat para insinyur Belanda tercengang. Ada tiga titik sebagai penanda keberadaannya yang kemudian disebut "triangulasi". pada ketiga titik tersebut dibuat patok semen dan ditempeli lempengan logam/stainlessteel yang masih mengkilap hingga kini. lempengan tersebut berisi titik garis bujur dan garis lintang lengkap dengan kode unsur kimia kandungan cadangan tambang dimaksud. Namun tokoh ini nampaknya mulai tahu bahwa dirinya telah dimanfaatkan penjajah dan sepertinya hal ini membuatnya "limbung" dan tidak siap menghadapi kenyataan yang terjadi. Padahal ia telah juga terprovokasi ayah angkatnya untuk mengeringkan Rawa Remang secara sadis!!!. Ia nampak terpukul dan begitu sangat menyesal. Semua keadaan ini membuatnya sedih dan kecewa, dan melalui permenungan yang cukup lama akhirnya ia memang "mutung", memutuskan untuk kabur dan menggelandang/mengelana saja meninggalkan lingkungannya [Sumberagung] yang begitu menyiksa perasaan dan mendera batinnya ini....................
.
Kemudian ia mengumpulkan seluruh master karya sastranya dan menyerahkannya kepada satu-satunya "cantrik" yang selalu menemaninya bernama pak Sidik yang buta huruf. Pada saat itu ia baru berusia 30-an tahun. Ia berpesan pada pak Sidik agar merawat "warisan" tersebut, kemudian ia berpamitan mengelana ke Penang dengan membawa segudang kekecewaan dan kesedihan yang mendera di dalam hatinya yang begitu menyiksa......
.
Namun, sebelum ia mengelana ke Penang ia sempat menyelesaikan sebuah buku yang begitu fenomenal, isinya penuh caci-maki terhadap kelompok tertentu yang tidak disukainya, yaitu "Kitab Soetji Olee-Olee Hingsoen", terbit di Blitar 1920 olehPertjetakan Liem Liang Djwan, dan beredar secara terbatasSekali lagi, buku ini sangat sensitif untuk sebagian orang/ kelompok tertentu. Buku ini juga memuat beberapa nubuat/ramalan yang cukup sensitif.
.
Konon tokoh ini dikabarkan menetap di Penang (ia terhubung dengan situs "One hundred bat cave"), hingga akhir hayatnya dan diperabukan disana pada medio 1960-an......
.
Dan seiring berjalannya waktu, akhirnya pak Sidik menyerahkan sekotak warisan karya sastra adiluhung tersebut kepada Mbah Iskak [salah satu putra Eyang Buyut], hal ini terjadi karena pak Sidik dan anak-anaknya tidak ada yang bisa baca tulis dan tidak mampu merawat dengan baik, selain itu juga karena alasan ekonomi yang mendera keluarganya kala itu.....


Berlanjut "Cerita Tan Tiek Siu (V)
Sumber : tantieksioesian.blogspot.com

Cerita Tan Tiek Siu(III)

 
IV Membangun Situs Goa Pendhem Pasetraan Gondo Mayeet Soemberagoeng

Walaupun ia menolak kembali ke Surabaya, tak ayal, peristiwa kedatangan kerabatnya tersebut membuatnya teringat kembali kepada almarhum kedua orangtuanya, apalagi ingat saat dirinya diusir oleh kerabatnya semasa ia masih anak-anak(usia 9 th), ini semua membuatnya sangat sedih dan begitu terpukul.....
Lantas ia mengurung diri dan merenungi nasibnya......kemudian ia memutuskan untuk kabur dari rumah untuk mencari ketenangan dan terobsesi pada sumber air tertentu yaitu ; 1) sumber mata air utama, berada di Sumberagung, persis didepan miniatur kelenteng yang dibangunnya, 2) sumber mata air di tengah pasar kota Banyuwangi(berupa sumur artesis yang dibangun penjajah kala itu), 3) sumber mata air ditengah sawah di Pacuh, Ngancar, Kediri, 4) sumber mata air di Klampok, Sendang, Karangrejo(lereng G Willis), 5)sumber mata air di Durenan, Trenggalek(lereng G Willis).
.
Setelah semua pencarian yang begitu melelahkan ini tunai, ia kemudian mengasingkan dirinya untuk sementara waktu di G Willis(ini bukan untuk bertapa) dan melepaskan semua beban yang menghinggapi hidupnya dan kerinduannya pada almarhum kedua orangtuanya.....
.
Dan, justru di G Willis inilah ia dapat dengan leluasa menumpahkan semua kreativitas sastra yang terpendam dalam dirinya. Ia menulis banyak sekali karya sastra disini.....yang dikemudian hari dibukukan dan beredar secara terbatas.
.
Konon karena saking gembiranya, dan juga untuk merayunya, pak Boediman menghadiahkan sebidang tanah pada Tan Tik Sioe di sebelah kiri rumah(loji) kediamannya,setelah itu ia meminta untuk menutup sumber mata air yang sangat besar sebagai pemasok air rawa remang. Tan tik tidak tahu bahwa ia sudah diakali, karena, alasan sebenarnya adalah agar memudahkan Belanda untuk melakukan aktivitas tambang kelak dikemudian hari, karena lebih mudah dilakukan penambangan bila rawa dalam keadaan kering. 

Sebidang tanah hadiah berukuran sekitar 60m X 40m tersebut kemudian ia manfaatkan untuk membangun tempat tinggal sekaligus tempat ritual berupa bangunan mirp goa pendhem dari beton yang memang sudah dirancangnya tatkala ia masih berada di pengasingannya di G Willis. Goa ini ia beri nama Pasetraan Gondo Mayeet yang kini lebih dikenal dengan sebutan Goa Tan Tik Sioe [Tan tik siu] .
.
Pada waktu-waktu tertentu ia memanfaatkan halaman"rumahnya" untuk mengadakan pertunjukan olah kanoragan dengan mengundang tokoh-tokoh setempat. Ada pertunjukan barongsai disini, ada juga "jaranan" yang merupakan budaya kesenian setempat. Di tempat yang sama pula ia begitu kewalahan mengobati pasien-pasien yang selalu datang silih berganti tanpa dipungut bayaran.
.
Pada masa inilah kerabatnya datang lagi dan berusaha menjemputnya untuk kedua kalinya dengan membawa seorang pelukis kenamaan Liem Too Hien yang kemudian melukis dirinya dan goa pendhem pasetraan gondoo-mayeet.
.
Konon Tan Tik Sioe dapat "mencipta" sesuai keinginannya, karena ia memang memilikiilmu sabda yang dapat ia amalkan secara sempurna. Penyakit apapun dapat ia sembuhkan kalau memang ia berkehendak penyakit itu sembuh, ranting jadi rokok, daun jadi duit, dan bahkan pada suatu hari ia berjalan-jalan dipinggir Rawa Remang menyaksikan ada petani yang sedang membajak sawah, seketika itu pula ia mengambil ranting kering dan membentuknya menjadi miniatur bajak persis seperti aslinya hanya dengan tangan kosong. [Kini miniatur bajak tersebut masih tersimpan rapi di rumah tetangga saya di kampung]


Berlanjut "Cerita Tan Tiek Siu(IV)
Sumber : tantieksioesian.blogspot.com

Cerita Tan Tiek Siu (II)

II Anak Nakal(Penyandang Autisme), Sebuah Petaka.

Lahir di Surabaya pada medio Juni 1884, dan oleh karena ketidaktahuan kedua orang tuannya serta kerabatnya bahwa ia menyandang penyakit Autisme, maka Tan Tik Sioe kecil dianggap dan dicap sebagai bocah nakal, bandel, rewel, penyendiri serta sulit diatur. Usia 9 tahun “kenakalannya” semakin menjadi-jadi dan sulit dikendalikan karena kesedihan yang timbul akibat kedua orangtuannya yang meninggal dunia, sehingga kerabatnya mengusirnya dari rumah. Ia minggat dari rumah dan hidup menggelandang kesana kemari tanpa tujuan serta memakan apa saja yang ditemuinya hanya sekedar untuk bertahan hidup…..
.
Suatu hari ia dengan tubuh kurusnya keleleran dan terlantar, ditemukan tergeletak kucel tak berdaya di pinggiran Rawa Remang-Sumberagung(berjarak sekitar 300 km dari Surabaya) oleh bocah-bocah yang sedang angon kerbau.
Berita ini cepat tersebar dan sampailah pada telinga pak Budiman(nama samaran), yaitu seorang sastrawan sekaligus penginjil, yang adalah warga Belanda sekaligus pengelola gereja dan perkebunan kelapa milik penjajah tersebut yang berkedudukan di Onderneming Soemberagoeng Afdeeling Toeloengagoeng, kampung halaman saya. Pak Boediman kemudian mengambil dan membesarkannya serta menjadikannya anak angkat serta membaptisnya. Semenjak ikut pak Budiman ia hidup terjamin dan diajari disiplin tinggi serta dipaksa belajar sastra yang akhirnya membuatnya menjadi mahir berbagai macam bahasa dan mengenal berbagai macam budaya. Dan dari kepustakaan ayah angkatnyalah ia belajar budaya Tao secara otodidak.

III Berguru Pada Eyang Buyut. 

 

"Shifu" Eyang Boeyoet


.
Tidak puas hanya belajar sastra, ia minta ijin ayah angkatnya untuk belajar ilmu kejawen, dan pak Budiman merekomendasikan agar belajar pada sahabatnya dalam mengelola Gereja setempat yaitu Eyang Buyut, yang kemudian mengajarinya “ilmu sangkan paraning dumadi” . Dan ternyata ia malah mampu menguasai ilmu sabda dalam waktu yang singkat. Ilmu ini menuntut pengamalnya untuk hidup “laku suci lan lungguh bener” serta selibat/lajang seumur hidup dan menjauhi perempuan/berhubungan sex. Ilmu ini tidak menuntut puasa/semedi/bertapa sama sekali. Ilmu ini membuat pemiliknya dapat mewujudkan apapun keinginannya. Dan karena ilmu inilah ia menjadi tokoh yang sangat sakti, karena ia dapat mewujudkan apa saja keinginannya, sehingga dikemudian hari ia dianggap sebagai manusia setengah dewa atau bahkan dewa itu sendiri(sian) oleh para penikutnya pada masa itu, juga di masa sekarang ini. Dan pada masa inilah Tan Tik Sioe dijemput oleh kerabatnya dari Surabaya yang dulu pernah mengusirnya. Namun ia menolak mentah-mentah setelah diancam oleh ayah angkatnya………


Berlanjut "Cerita Tan Tiek Siu (III)
Sumber : tantieksioesian.blogspot.com
.